“ORANG YANG berhasil total, adalah orang yang pernah merasakan gagal total.” – JFK.
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan, namun gagal bukan akhir segalanya. Dan bakal orang sukses adalah mereka yang bangkit segera setelah mengalami kegagalan. Ketika kesuksesan berhasil diraih, prestasi ini bukan malah membuat terlena dan manja. Dalam kancah industri musik Indonesia, tidak sedikit penyanyi dan musisi yang menjadi manja setelah meraih kesuksesan.
Maka tidak heran bila banyak artis yang bangga dan sedikit arogan saat lagunya masuk chart, RBT-nya laris dan off-airnya mulai padat. Apalagi kalau sudah beberapa kali masuk televisi dan "road show" ke berbagai media, tidak sedikit yang merasa seperti superstar yang paling hebat.
Filsuf Niezstche pernah berkata: Without Music, Life Would be A Mistake dan saya setuju pernyataan itu. Tapi musisi –siapapun dia—juga harus mengerti apa yang dikatakan Presiden Amerika Serikat, JF Kennedy; "Orang yang berhasil, biasanya pernah merasakan gagal". JFK ingin mengatakan, tidak ada kesuksesan instan. Kalau pun itu teraih, jarang yang napasnya panjang. Apalagi yang tiba-tiba star-syndrom, biasanya akan cepat jatuhnya.
Musisi Era 90-an berbeda dengan era 2000-an. Saya masih ingat, Iwan Fals sempat nongkrong bareng bareng fans-nya, malah tukeran kaos, usai konser di salah satu kota di Jawa Tengah. Kemudian legenda Napalm Death –sang dewa grindcore dunia itu—memilih ngobrol bareng wartawan dan fans, usai preskon jelang konsernya di Jakarta, tahun 2005 silam. Mereka egaliter dan membumi, meski secara nama, Iwan fals dan Napalm Death amatlah besar.
Bagaimana dengan musisi sekarang? Meski tidak semuanya “sok artis”, tapi tidak sedikit yang berlagak selebritis berjalan di red carpet, dengan gaya kepala mendongak, tidak liat kanan kiri. Padahal belum tentu karyanya disukai orang, diapresiasi orang, dibeli orang atau di-download orang. Menurut saya, ada beberapa analisa karakter yang bisa dibedah.
1. Mental
Banyak musisi sekarang lahir karena kekuatan ekonominya. Artinya, menjadi musisi adalah ajang uji coba. Bisa beli alat, punya studio sendiri, anak kuliahan, disokong financial orangtua yang kuat. Karakter ini menciptakan mental musisi yang lembek dan manja. Semua maunya diurusin dan disuapin. Tidak punya kreativitas dan imajinasi, mau dibawa kemana masa depan karirnya sebagai musisi. Ketika sudah mentok dan tidak berhasil profesi lain adalah pelarian.
2. Miskin Ide
Pasrah dengan label atau manajemennya saja. Padahal, menjadi musisi itu sebenarnya sedang belajar tentang kehidupan dan tentu saja "mencebloskan" diri dalam industri kapitalisnya. Dalam sekolah kehidupan, kita ditempa mengerti orang lain, karena musik dimainkan bukan untuk diri sendiri, tapi juga untuk menyenangkan orang lain –sebut saja fans. Sekolah kehidupan itu juga berarti sabar. Sabar dengan proses, tidak grusa-grusu, maunya cepet ngetop dan bisa langsung kaya. Sayangnya pula, banyak musisi yang miskin ide dalam banyak hal. Soal strategi promosi, meski ini memang tugas tim manajemen, tapi tidak ada salahnya bukan musisi mempunyai ide sendiri tentang ini, lalu soal trend, soal lirik, soal kostum, soal manajemen artis itu sendiri. Anggapan mereka, bermusik adalah “hanya” bermain musik. Seharusnya memang begitu, tapi kalau memang bisa beride menarik dan brilian, why not?
3. No Cutting Edge ato Takut Cutting Edge?
Ketakutan “miskin” dan gagal di industri musik, membuat banyak musisi baru - dan yang laman, merasa tidak perlu berinovasi dalam karya musiknya. Ikut arus dan tren adalah cara yang paling aman untuk bertahan. Atau dalam istilah kawa-kawan saya adalah “melacur” saja. Salah? Ya tidak juga, karena itu pilihan kok. Tapi kalau targetnya adalah bermusik untuk napas, jiwa dan eksistensi hati, pilihan aman itu adalah kebodohan. Cutting Edge jelas bukan pilihan, karena musik-musik ini, meski dianggap lebih berkualitas, tapi lebih sering disebut-sebut sebagai “musik tidak laku!” Nah lo… !
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan, namun gagal bukan akhir segalanya. Dan bakal orang sukses adalah mereka yang bangkit segera setelah mengalami kegagalan. Ketika kesuksesan berhasil diraih, prestasi ini bukan malah membuat terlena dan manja. Dalam kancah industri musik Indonesia, tidak sedikit penyanyi dan musisi yang menjadi manja setelah meraih kesuksesan.
Maka tidak heran bila banyak artis yang bangga dan sedikit arogan saat lagunya masuk chart, RBT-nya laris dan off-airnya mulai padat. Apalagi kalau sudah beberapa kali masuk televisi dan "road show" ke berbagai media, tidak sedikit yang merasa seperti superstar yang paling hebat.
Filsuf Niezstche pernah berkata: Without Music, Life Would be A Mistake dan saya setuju pernyataan itu. Tapi musisi –siapapun dia—juga harus mengerti apa yang dikatakan Presiden Amerika Serikat, JF Kennedy; "Orang yang berhasil, biasanya pernah merasakan gagal". JFK ingin mengatakan, tidak ada kesuksesan instan. Kalau pun itu teraih, jarang yang napasnya panjang. Apalagi yang tiba-tiba star-syndrom, biasanya akan cepat jatuhnya.
Musisi Era 90-an berbeda dengan era 2000-an. Saya masih ingat, Iwan Fals sempat nongkrong bareng bareng fans-nya, malah tukeran kaos, usai konser di salah satu kota di Jawa Tengah. Kemudian legenda Napalm Death –sang dewa grindcore dunia itu—memilih ngobrol bareng wartawan dan fans, usai preskon jelang konsernya di Jakarta, tahun 2005 silam. Mereka egaliter dan membumi, meski secara nama, Iwan fals dan Napalm Death amatlah besar.
Bagaimana dengan musisi sekarang? Meski tidak semuanya “sok artis”, tapi tidak sedikit yang berlagak selebritis berjalan di red carpet, dengan gaya kepala mendongak, tidak liat kanan kiri. Padahal belum tentu karyanya disukai orang, diapresiasi orang, dibeli orang atau di-download orang. Menurut saya, ada beberapa analisa karakter yang bisa dibedah.
1. Mental
Banyak musisi sekarang lahir karena kekuatan ekonominya. Artinya, menjadi musisi adalah ajang uji coba. Bisa beli alat, punya studio sendiri, anak kuliahan, disokong financial orangtua yang kuat. Karakter ini menciptakan mental musisi yang lembek dan manja. Semua maunya diurusin dan disuapin. Tidak punya kreativitas dan imajinasi, mau dibawa kemana masa depan karirnya sebagai musisi. Ketika sudah mentok dan tidak berhasil profesi lain adalah pelarian.
2. Miskin Ide
Pasrah dengan label atau manajemennya saja. Padahal, menjadi musisi itu sebenarnya sedang belajar tentang kehidupan dan tentu saja "mencebloskan" diri dalam industri kapitalisnya. Dalam sekolah kehidupan, kita ditempa mengerti orang lain, karena musik dimainkan bukan untuk diri sendiri, tapi juga untuk menyenangkan orang lain –sebut saja fans. Sekolah kehidupan itu juga berarti sabar. Sabar dengan proses, tidak grusa-grusu, maunya cepet ngetop dan bisa langsung kaya. Sayangnya pula, banyak musisi yang miskin ide dalam banyak hal. Soal strategi promosi, meski ini memang tugas tim manajemen, tapi tidak ada salahnya bukan musisi mempunyai ide sendiri tentang ini, lalu soal trend, soal lirik, soal kostum, soal manajemen artis itu sendiri. Anggapan mereka, bermusik adalah “hanya” bermain musik. Seharusnya memang begitu, tapi kalau memang bisa beride menarik dan brilian, why not?
3. No Cutting Edge ato Takut Cutting Edge?
Ketakutan “miskin” dan gagal di industri musik, membuat banyak musisi baru - dan yang laman, merasa tidak perlu berinovasi dalam karya musiknya. Ikut arus dan tren adalah cara yang paling aman untuk bertahan. Atau dalam istilah kawa-kawan saya adalah “melacur” saja. Salah? Ya tidak juga, karena itu pilihan kok. Tapi kalau targetnya adalah bermusik untuk napas, jiwa dan eksistensi hati, pilihan aman itu adalah kebodohan. Cutting Edge jelas bukan pilihan, karena musik-musik ini, meski dianggap lebih berkualitas, tapi lebih sering disebut-sebut sebagai “musik tidak laku!” Nah lo… !
0 komentar:
Posting Komentar